BEBAN YANG SEIMBANG DENGAN
KEMAMPUAN
Dr. Sehat Sultoni Dalimunthe
Bagi siapa saja yang membaca
al-Qur'an, secara sadar atau tidak pasti menjumpai Q.S. al-Baqarah/2:286,
al-An`am/6:152, al-A`raf/7:42, al-Mu'minun/23:62. Ayat pertama menyebutkan لا يكلف الله نفسا إلا وسعها. Dimana yang
membebani adalah Allah dengan dhamir “hua”, sementara tiga ayat terakhir
kalimatnya لا نكلف الله نفسا إلا وسعها,
dimana yang membebani itu Allah dengan dhamir “nahnu”.
Makna secara umum, tidak ada suatu
beban atau tugas dimana Allah ikut yang memberi beban yang tidak mampu
ditanggung oleh manusia. Terhadap beban ini, ada beban yang hanya dipikulkan
oleh Allah kepada manusia, ada beban yang dipikulkan oleh manusia dan diridhai
oleh AllahAda dua persoalan utama dalam hal ini. Pertama, mana beban yang
dipikulkan oleh Allah sendiri kepada manusia. Kedua, ada beban yang dipikulkan
oleh Allah lewat manusia. Ketiga, ada beban yang dipikulkan oleh manusia dan
Allah tidak ikut campur dalam urusan ini.
Beban yang langsung dipikulkan
oleh Allah kepada manusia adalah syariat-syariatnya, seperti melaksanakan
shalat, puasa, zakat, dan haji. Dua
syariat yang pertama, tidak berhubungan dengan harta, sementara dua syariat
terakhir berhubungan dengan harta. Terhadap dua yang pertama tidak perlu dibahas
karena umumnya orang paham bahwa orang yang tidak melaksanakannya bukan karena
ia tidak mampu. Dua syariat yang terakhir, zakat dan haji. Jika harta yang
wajib dizakati, jika dilaksanakan, pasti membuat rezeki itu mentambah berkah,
harta-harta yang dizakati itu akan terus bertambah dengan cara dan waktu yang
tidak diketahui oleh manusia. Bisa saja, padi yang dizakati, pendapatan sawah
itu akan bertambah banyak, bisa juga yang menzakati dan keluarganya bertambah
sehat. Bisa juga anak yang menzakati itu tidak menyusahkan di sekolah dan bahwa
menjadi kebanggaan karena prestasi dan keahliannya, sehingga yang berzakat itu
tambah berbahagia, begitu dan seterusnya. Sementara dalam hal syariat haji.
Bagi siapa yang telah membuka tabungan haji, maka Allah telah membuka pintu
baginya untuk berangkat haji. Bagaimana bisa, tentu lah dengan usaha dan doa.
Orang yang ikhlas membuka tabungan haji dan berusaha bersunggung-sungguh,
sambil mengamalkan doa rutin, “Ya Allah beri aku rezeki untuk bisa
menyempurnahkan tabungan haji, agar bisa menjalankan syariatMu”. Kemungkinan
usahanya bisa lebih bagus, tidak mustahil juga esok lusa ada yang menderma,
sehingga tabuhan haji menjadi sempurna. Begitu dan seterusnya, bagaimana
melengkapi tabungan haji itu, usaha dan doa, serta keyakinan harus ditanam
secara kokoh.
Bagaimana dengan beban yang
dipikulkan oleh Allah lewat manusia. Semua beban hidup dijalan Allah, itu
berupa beban Allah lewat manusia. Salah satunya, menyekolahkan anak. Bagaimana
memahami bahwa menyekolahkan anak adalah beban manusia yang dipikulkan oleh
Allah lewat manusia. Masuk sekolah perlu biaya-biaya, baik di sekolah yang
ditanggung oleh Negara seperti SD dan SMP sederajat, ada biaya-biaya yang
dikeluarkan seperti beli pakean dan peralatan sekolah maupuan transfortasinya.
Apalagi di sekolah yang dibebankan kepada orang tua seperti sekolah di
lembaga-lembaga swasta. Apa benar ini beban dari Allah lewat sekolah?
Jawabannya benar, ini beban Allah untuk orang tua. Allah di antaranya menyebut
dalam Q.S. al-Zumar/39:9, bahwa tidak sama orang yang berilmu dan yang tidak
berilmu. Orang berilmu itu lebih dekat dengan Allah. Untuk itu, Allah
mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu (Q.S.
al-Mujadalah/58:11). Inilah diantara
dasar bahwa menyekolahkan anak dimana saja pun sudah digaransi atau dijamin
oleh Allah bahwa orang tua memiliki potensi atau bakal kemampuan. Yang
diberikan oleh bukan lah materi, tetapi kemampuan. Siapa yang tidak menggunakan
kemampuannya untuk mendapat rezeki itu, maka beban itu tidak bisa dipikul.
Ilustrasi potensi atau bakal
kemampuan itu segini, jika Allah menyuruhkan kita dari Gunung Tua ke
Padangsidimpuan. Allah telah menyediakan sepeda motornya, katakanlah Honda Beat
Street, lengkap dengan segala sesuatunya, termasuk bensinnya, tidak membawanya
saja. Sementara, orang yang punya itu belum bisa mengenderai sepeda motor itu,
maka usaha orang tersebut belajar naik sepeda motor agar bisa sampai ke
Padangsidimpuan. Jika dia tidak belajar, maka beban itu tidak bisa dipikul dan
yang salah adalah manusia.
Dalam konsep beban sekolah itulah,
orang tua punya optimisme mampu menyekolahkan anak setinggi-tingginya. Jika
tidak termasuk orang yang punya, usahanya harus lebih giat dari orang yang
punya. Jika orang kaya dalam seminggu cukup kerja satu hari sudah bisa menutupi
kebutuhannya, yang tidak punya harus rela bekerja lebih dari satu hari atau
bekerja 7 hari dalam seminggu, atau seperti istilah seorang pengusaha, “ulang
do 30 ari iba karejo dalam sabulan, baen 40 ari”. Mana ada jumlah hari dalam
sebulah 40? Ini adalah bahasa bahwa kita harus bekerja keras dan cerdas. Banyak
buktinya orang yang miskin bangkit menjadi orang kaya, walaupun kalau kaya
belum tentu baik. Yang pasti baik adalah perubahan dari penerima menjadi
pemberi, dari mustahiq menjadi muzakki.
Untuk itu, tidak ulama berdoa agar menjadi kaya. Mereka hanya berdoa
agar mereka menjadi orang yang mengeluarkan zakat banyak-banyak. Jika banyak
mengeluarkan zakat dengan sendirinya hartanya banyak. Kalau mereka yang kaya,
tidak ada zaminan mengeluarkan zakat. Untuk itu, orang kaya yang mengeluarkan
zakat lebih baik disebut muzakki.
Dalam analisis bahasa Arab
seseorang “al-nafs” dalam ayat di atas muannats (wanita), walaupun zhahirnya
mudzakkar (laki-laki). Apa maknanya, sehebat apa pun manusia itu, ia
membutuhkan bantuan orang lain. Untuk itulah, membatu seseorang agar kuat dalam
segala hal termasuk dalam bidang ekonomi adalah syariat Allah. Di sini perlu
membangun program “Membuat orang bahagia”. Dalam teori social, kebersamaan itu
membahagiakan. Jika ada orang kaya sendiri, ia bahagian, pasti ia tidak paham
kebahagiaan itu. Bersama-sama kaya jauh lebih menyenangkan dan damai.
Bersama-sama pintar itu lebih membahagiakan.
Bagaimana dengan beban yang bukan
dari Allah. Beban yang bukan dari Allah dapat dilihat beban yang tidak pada
jalannya. Contohnya, seseorang bukan usaha dengan meminjam uang dari Bank 1
Miliyar, tiba-tiba bangkrut, dia menuntut Tuhan. Itu tidak dapat disebut beban
yang dipikulkan oleh Allah. Allah tidak menyuruh orang untuk berutang
banyak-banyak untuk buka usaha. Berusaha disuruh oleh Allah, tapi usaha sesuai
dengan kemampuanmu dan dengan cara yang benar.
Orang buka usaha pakter, kemudian
kelak dia bangkrut. Tentu lah itu bukan beban yang dipikulkan oleh Allah. Ada
bilang, bukan pakter, tidak pernah rugi, dan itu usaha yang gampang.
Kebangkrutan itu bukanlah selamanya dalam hal materi dan juga tidak terbatas
waktu diwaktu dekat. Tidak ada keburukan yang dilakukan oleh manusia, tidak
dibalas oleh Allah di dunia ini. Dengan demikian, membuka pakter pasti merugi. Bentuk
dan waktu kerugiannya itulah yang tidak dapat diketahui pasti oleh manusia.
Untuk mempelajarinya, tanyalah pensiunan usahawan pakter, mereka akan bisa
bercerita banyak, akibat buruk yang mereka rasakan. Allah tidak pernah inkar
janji (Q.S. Ali Imran/3:9).
Semoga Bermanfaat.
BEBAN YANG SEIMBANG DENGAN
KEMAMPUAN
Dr. Sehat Sultoni Dalimunthe
Bagi siapa saja yang membaca
al-Qur'an, secara sadar atau tidak pasti menjumpai Q.S. al-Baqarah/2:286,
al-An`am/6:152, al-A`raf/7:42, al-Mu'minun/23:62. Ayat pertama menyebutkan لا يكلف الله نفسا إلا وسعها. Dimana yang
membebani adalah Allah dengan dhamir “hua”, sementara tiga ayat terakhir
kalimatnya لا نكلف الله نفسا إلا وسعها,
dimana yang membebani itu Allah dengan dhamir “nahnu”.
Makna secara umum, tidak ada suatu
beban atau tugas dimana Allah ikut yang memberi beban yang tidak mampu
ditanggung oleh manusia. Terhadap beban ini, ada beban yang hanya dipikulkan
oleh Allah kepada manusia, ada beban yang dipikulkan oleh manusia dan diridhai
oleh AllahAda dua persoalan utama dalam hal ini. Pertama, mana beban yang
dipikulkan oleh Allah sendiri kepada manusia. Kedua, ada beban yang dipikulkan
oleh Allah lewat manusia. Ketiga, ada beban yang dipikulkan oleh manusia dan
Allah tidak ikut campur dalam urusan ini.
Beban yang langsung dipikulkan
oleh Allah kepada manusia adalah syariat-syariatnya, seperti melaksanakan
shalat, puasa, zakat, dan haji. Dua
syariat yang pertama, tidak berhubungan dengan harta, sementara dua syariat
terakhir berhubungan dengan harta. Terhadap dua yang pertama tidak perlu dibahas
karena umumnya orang paham bahwa orang yang tidak melaksanakannya bukan karena
ia tidak mampu. Dua syariat yang terakhir, zakat dan haji. Jika harta yang
wajib dizakati, jika dilaksanakan, pasti membuat rezeki itu mentambah berkah,
harta-harta yang dizakati itu akan terus bertambah dengan cara dan waktu yang
tidak diketahui oleh manusia. Bisa saja, padi yang dizakati, pendapatan sawah
itu akan bertambah banyak, bisa juga yang menzakati dan keluarganya bertambah
sehat. Bisa juga anak yang menzakati itu tidak menyusahkan di sekolah dan bahwa
menjadi kebanggaan karena prestasi dan keahliannya, sehingga yang berzakat itu
tambah berbahagia, begitu dan seterusnya. Sementara dalam hal syariat haji.
Bagi siapa yang telah membuka tabungan haji, maka Allah telah membuka pintu
baginya untuk berangkat haji. Bagaimana bisa, tentu lah dengan usaha dan doa.
Orang yang ikhlas membuka tabungan haji dan berusaha bersunggung-sungguh,
sambil mengamalkan doa rutin, “Ya Allah beri aku rezeki untuk bisa
menyempurnahkan tabungan haji, agar bisa menjalankan syariatMu”. Kemungkinan
usahanya bisa lebih bagus, tidak mustahil juga esok lusa ada yang menderma,
sehingga tabuhan haji menjadi sempurna. Begitu dan seterusnya, bagaimana
melengkapi tabungan haji itu, usaha dan doa, serta keyakinan harus ditanam
secara kokoh.
Bagaimana dengan beban yang
dipikulkan oleh Allah lewat manusia. Semua beban hidup dijalan Allah, itu
berupa beban Allah lewat manusia. Salah satunya, menyekolahkan anak. Bagaimana
memahami bahwa menyekolahkan anak adalah beban manusia yang dipikulkan oleh
Allah lewat manusia. Masuk sekolah perlu biaya-biaya, baik di sekolah yang
ditanggung oleh Negara seperti SD dan SMP sederajat, ada biaya-biaya yang
dikeluarkan seperti beli pakean dan peralatan sekolah maupuan transfortasinya.
Apalagi di sekolah yang dibebankan kepada orang tua seperti sekolah di
lembaga-lembaga swasta. Apa benar ini beban dari Allah lewat sekolah?
Jawabannya benar, ini beban Allah untuk orang tua. Allah di antaranya menyebut
dalam Q.S. al-Zumar/39:9, bahwa tidak sama orang yang berilmu dan yang tidak
berilmu. Orang berilmu itu lebih dekat dengan Allah. Untuk itu, Allah
mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu (Q.S.
al-Mujadalah/58:11). Inilah diantara
dasar bahwa menyekolahkan anak dimana saja pun sudah digaransi atau dijamin
oleh Allah bahwa orang tua memiliki potensi atau bakal kemampuan. Yang
diberikan oleh bukan lah materi, tetapi kemampuan. Siapa yang tidak menggunakan
kemampuannya untuk mendapat rezeki itu, maka beban itu tidak bisa dipikul.
Ilustrasi potensi atau bakal
kemampuan itu segini, jika Allah menyuruhkan kita dari Gunung Tua ke
Padangsidimpuan. Allah telah menyediakan sepeda motornya, katakanlah Honda Beat
Street, lengkap dengan segala sesuatunya, termasuk bensinnya, tidak membawanya
saja. Sementara, orang yang punya itu belum bisa mengenderai sepeda motor itu,
maka usaha orang tersebut belajar naik sepeda motor agar bisa sampai ke
Padangsidimpuan. Jika dia tidak belajar, maka beban itu tidak bisa dipikul dan
yang salah adalah manusia.
Dalam konsep beban sekolah itulah,
orang tua punya optimisme mampu menyekolahkan anak setinggi-tingginya. Jika
tidak termasuk orang yang punya, usahanya harus lebih giat dari orang yang
punya. Jika orang kaya dalam seminggu cukup kerja satu hari sudah bisa menutupi
kebutuhannya, yang tidak punya harus rela bekerja lebih dari satu hari atau
bekerja 7 hari dalam seminggu, atau seperti istilah seorang pengusaha, “ulang
do 30 ari iba karejo dalam sabulan, baen 40 ari”. Mana ada jumlah hari dalam
sebulah 40? Ini adalah bahasa bahwa kita harus bekerja keras dan cerdas. Banyak
buktinya orang yang miskin bangkit menjadi orang kaya, walaupun kalau kaya
belum tentu baik. Yang pasti baik adalah perubahan dari penerima menjadi
pemberi, dari mustahiq menjadi muzakki.
Untuk itu, tidak ulama berdoa agar menjadi kaya. Mereka hanya berdoa
agar mereka menjadi orang yang mengeluarkan zakat banyak-banyak. Jika banyak
mengeluarkan zakat dengan sendirinya hartanya banyak. Kalau mereka yang kaya,
tidak ada zaminan mengeluarkan zakat. Untuk itu, orang kaya yang mengeluarkan
zakat lebih baik disebut muzakki.
Dalam analisis bahasa Arab
seseorang “al-nafs” dalam ayat di atas muannats (wanita), walaupun zhahirnya
mudzakkar (laki-laki). Apa maknanya, sehebat apa pun manusia itu, ia
membutuhkan bantuan orang lain. Untuk itulah, membatu seseorang agar kuat dalam
segala hal termasuk dalam bidang ekonomi adalah syariat Allah. Di sini perlu
membangun program “Membuat orang bahagia”. Dalam teori social, kebersamaan itu
membahagiakan. Jika ada orang kaya sendiri, ia bahagian, pasti ia tidak paham
kebahagiaan itu. Bersama-sama kaya jauh lebih menyenangkan dan damai.
Bersama-sama pintar itu lebih membahagiakan.
Bagaimana dengan beban yang bukan
dari Allah. Beban yang bukan dari Allah dapat dilihat beban yang tidak pada
jalannya. Contohnya, seseorang bukan usaha dengan meminjam uang dari Bank 1
Miliyar, tiba-tiba bangkrut, dia menuntut Tuhan. Itu tidak dapat disebut beban
yang dipikulkan oleh Allah. Allah tidak menyuruh orang untuk berutang
banyak-banyak untuk buka usaha. Berusaha disuruh oleh Allah, tapi usaha sesuai
dengan kemampuanmu dan dengan cara yang benar.
Orang buka usaha pakter, kemudian
kelak dia bangkrut. Tentu lah itu bukan beban yang dipikulkan oleh Allah. Ada
bilang, bukan pakter, tidak pernah rugi, dan itu usaha yang gampang.
Kebangkrutan itu bukanlah selamanya dalam hal materi dan juga tidak terbatas
waktu diwaktu dekat. Tidak ada keburukan yang dilakukan oleh manusia, tidak
dibalas oleh Allah di dunia ini. Dengan demikian, membuka pakter pasti merugi. Bentuk
dan waktu kerugiannya itulah yang tidak dapat diketahui pasti oleh manusia.
Untuk mempelajarinya, tanyalah pensiunan usahawan pakter, mereka akan bisa
bercerita banyak, akibat buruk yang mereka rasakan. Allah tidak pernah inkar
janji (Q.S. Ali Imran/3:9).
Semoga Bermanfaat.
0 komentar: